Si Ahmad adalah penggemar olah raga. Badminton digemarinya lebih dari pada berenang sedangkan sepakbola lebih-lebih lagi digemarinya. Hampir setiap hari ia berolah raga sehabis belajar dan baru malam hari ia mengaso.
Pada suatu hari si Ahmad tidak sabar menantikan sore. Gambar-gambar reklame di gedung bioskop Alhambra yang biasa dilaluinya kalau pulang dan pergi bersekolah tidak menarik perhatiannya itu.
“Cukuplah uangku sekarang”, pikir si Ahmad sesudah diberi tiga rupiah setengah oleh ibunya. “Sepuluh rupiah untuk membeli karcis, satu rupiah untuk menitipkan sepeda dan masih ada sisa lima belas ketip lagi”.
Ketika matahari memancarkan cahayanya tepat pada bagian muka rumah si Ahmad, keluarlah ia menghela sepeda dari pekarangan rumahnya. Setibanya di jalan dinaiki dan dikayuhlah sepedanya itu cepat-cepat ke Selatan, menuju ke lapangan sepak bola. Hari waktu itu baru pukul 3.
Lapangan sepak bola tidaklah jauh dari rumah si Ahmad. Apabila bersepeda cepat-cepat seperti si Ahmad tadi menuju jalan Sawo tidaklah sampai memakan waktu seperempat jam, melalui jalan Jambu jauh sedikit tetapi aman dan yang paling dekat ialah melalui jalan Salak. Pukul setengah empat si Ahmad pun sampailah di tempat yang ditujunya.
Pada sore itu perkumpulan sepak bola yang paling kuat dikota si Ahmad akan bertanding. Musuhnya dari luar kota. Si Ahmad telah melihat semua perkumpulan sepak bola yang ada dikotanya itu bertanding yang satu melawan yang lain. Diana dan Askas bukanlah tandingnya. Sedar kalah banyak oleh Diana. Yang sama kekuatannya adalah Askas dan Sedar.
Di lapangan sepak bola si Amran, si Usin dan si Bakir, semuanya teman si Ahmad sudah ada dalam barisan yang berderet di muka tempat penjualan karcis. Tiap orang tidak diperbolehkan membeli lebih dari dua. Ayah si Usin pun kelihatan berdiri di dekat pintu masuk, tentu menunggu anaknya mendapat karcis. Si Amran pun hanya terpisah oleh satu orang dari si Bakir yang rupanya jengkel pada kakaknya yang berteduh di bawah pohon dan tidak mau bergiliran berdiri dalam barisan. Si Ahmad berhasil titip beli karcis pada salah seorang temannya itu. Tetapi karcis sidah terjual habis sebelum teman si Ahmad memperolehnya.
“Sial” pikir si Ahmad dan bertambah-tambah lagi sialnya karena pada waktu pulang ia harus menyaksikan satu kecelakaan lalu lintas. Ia sedang berhenti karena lampu lalu lintas yang tergantung di tengah-tengah perempatan jalan masih merah warnanya tanda belum boleh berjalan terus. Tepat di tengah-tengah perempatan jalan itu tiba-tiba sebuah becak yang datang dari belakang si Ahmad dilanggar dengan kerasnya oleh sebuah mobil yang hendak membelok ke kanan ke jalan yang baru dilalui oleh si Ahmad.
Setibanya di rumah si Ahmad menceritakan segala pengalamannya sore itu pada ibunya. Ayahnya tidak ada di rumah. Dua hari yang lalu ia berangkat ke luar kota dan baru akan kembali hari Senin tanggal 22 sesudah lima malam menginap di luar kota.
- 1 rupiah = 10 ketip
- 1 ketip = 10 sen